Minggu, 12 Desember 2010

Resensi Piano di Kotak Kaca

Posted by inuyasha On 21.07


Judul : Piano di Kotak Kaca
No. ISBN : 979-22-2582-X
Penulis : Agnes Jessica
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit : Januari - 2007
Jumlah Halaman : 376
Berat Buku : -
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi(L x P) : 135x200mm
Kategori : Drama
Bonus : -
Text : Bahasa Indonesia

SINOPSIS BUKU
Wajah Sheila berubah murung. “Bapak mau bilang karena saya anak pembunuh, kan? Saya punya sifat kejam dalam diri saya, makanya berkali-kali saya mendapat masalah.”

“Kamu memiliki banyak sifat istimewa. Kamu perhatian pada orang lain, kamu ingin sekali terlibat secara emosional dengan manusia lain. Singkatnya, kamu sensitif dan peduli terhadap orang lain. Tapi orang-orang dengan sifat seperti ini punya kelemahan.”

“Apa kelemahannya?”

“Jika orang lain kurang peduli terhadapnya, ia akan membenci orang itu.”

Sebuah miniatur piano menjadi kenangan terakhir Sheila akan ibunya. Ibunya meninggal karena dibunuh ayahnya sendiri dan sang ayah dipenjara. Tinggal Sheila sebatang kara, tanpa kasih sayang orangtua di usianya yang masih belia.

Uluran tangan dari saudara angkat ayahnya ternyata membawa kepahitan lain. Sheila dijadikan pembantu di tempat tinggalnya yang baru dan berulang kali dianiaya secara mental. Sikap keras gadis itu sering kali dikaitkan dengan latar belakangnya yang berayah pembunuh. Sheila merasa takut akan emosinya yang mudah sekali meledak sehingga melukai orang-orang yang melukai harga dirinya.

Satu-satunya orang yang mengulurkan tangan tulus padanya hanyalah Bram, pria timpang yang memendam banyak kepahitan akibat kondisi fisiknya. Bisakah ikatan yang terjalin di antara mereka mengembalikan jiwa Sheila yang terluka dan merindukan ibunya?

Review



Agnes Jessica! Itulah kenapa saya tertarik untuk membaca novel ini. Setelah sebelumnya saya membaca novel milik Agnes Jessica yang berjudul "Sepatu Kaca", saya tertarik untuk membaca lagi novel karangannya, meskipun novel dengan judul "Sepatu Kaca" tersebut belum selesai saya baca.

Ketika membaca sinopsis di balik novel ini, sebenarnya saya sudah ragu untuk membacanya. Cerita tentang anak pungut yang hidup menderita sudah lazim kita dengar. Tetapi akhirnya saya lahap habis juga novel ini.


Di awal cerita, keraguan saya tentang jalannya cerita ternyata terbukti. Kekerasan yang di terima Sheila oleh keluarga yang di tumpanginya menjadi cerita utama di awal novel. Namun cerita berubah drastis ketika Sheila dipindahkan ke sebuah asrama di daerah Ciloto. Bahkan setelah Sheila di tampung oleh Bram, cerita di novel ini benar-benar tidak bisa di tebak lagi. Good job buat Agnes Jessica.

Hanya dibutuhkan 1 hari buat saya untuk membaca habis cerita novel ini. Hal ini membuktikan bahwa gaya bahasa yang ada di dalam novel ini mudah dipahami. Sangat jarang terdapat kata yang tidak diketahui artinya.

Overall :
Meski saya sudah bisa menebak akhir ceritanya sewaktu membaca 3/5 isi novel, novel ini bolehlah di baca untuk mengisi waktu luang, karena akan ada banyak kejadian yang tak terduga di dalam novel ini. Namun tetap saja ending-nya seperti yang saya duga.

Minggu, 05 Desember 2010

Sakura Nan Indah

Posted by inuyasha On 22.04


Akhir Maret yang lalu kami dari Laboratorium Entomologi Kesehatan FKH IPB dapat kesempatan mengunjungi Jepang, tepatnya di kota Beppu, Oita dan Nagasaki selama satu minggu. Meskipun belum semuanya mekar kami bisa menikmati bunga Sakura di Beppu dan Oita, dan ketika kami bergerak ke daerah  selatan menuju Nagasaki, di sepanjang jalan dan dari kejauhan hutan yang nampak,   terlihat bunga sakura sudah mekar sempurna (mankai), subhanallah cantik sekali …
Di Jepang, bunga sakura mulai mekar di akhir Maret atau awal April.  Saat mekar ini adalah sesuatu yang sangat dinantikan masyarakat setelah melewati dinginnya musim dingin yang cukup menyayat. Mekarnya bunga sakura yang begitu indah benar-benar dinanti dan dinikmati karena keelokan ini  tidak berumur panjang,  yaitu hanya sekitar satu minggu. Setelah itu bunga akan layu, rontok, berguguran dan berganti dengan munculnya tunas daun hijau. Mekarnya bunga sakura ini menandakan datangnya haru (musim semi) dan bertepatan dengan tahun ajaran baru sekolah dan perguruan tinggi, serta masa penerimaan karyawan baru atau perpindahan karyawan (mutasi).
Bunga sakura banyak ditanam dan dijumpai di sekeliling sekolah, perkantoran, pinggir-pinggir jalan raya, dan yang terindah untuk dinikmati adalah di taman-taman di tengah kota. Di Oita tempat- tempat yang setiap musim dimanfaatkan masyarakat untuk hanami ( menikmati keindahan bunga ) antara lain adalah Heiwa Shimin Koen, Bochi Koen, Takaosan Koen, Gokoku Jinza (Shrine), sedangkan di Beppu yang banyak dikunjungi adalah Beppu Koen, Rakutenchi, Shidaka Lake, dan Tsurumi Ropeway. Di Nagasaki juga kita bisa menikmati keelokan bunga ini di taman-taman seperti Glover Garden yang dari sini juga bisa melihat pemandangan laut dan lereng bukit kota Nagasaki.
Di Jepang, ketika bunga sedang mekar sempurna (full bloom atau mankai), kita akan sulit mencari tempat-tempat yang bisa kita jadikan good spot. Oleh karena itu kita harus berjuang untuk mendapatkannya, biasanya pagi-pagi mencari tempat yang aman dan nyaman, lalu meninggalkan tiker sebagai tanda bahwa tempat itu milik kita. Sehingga ketika siang datang bersama teman-teman sudah punya tempat duduk yang aman sambil makan, bercanda, dan ngobrol. Di bawah pohon sakura ini, orang Jepang biasanya berpesta sambil membawa makanan spesial yang sudah disiapkan dari rumah, yaitu bento yang lengkap berisi onigiri, tempura, tsukemono, sashimi, sake, bir,  dan lain-lainnya sambil berkaraoke ria..Suasananya ramai, hiruk pikuk, sesekali kita bisa lihat juga orang Jepang yang mulai mabuk dengan rona wajah merah. Selain itu, seringkali kita juga menjumpai para fotografer profesional yang setiap tahun dengan serius mengambil gambar bunga sakura.  Kitapun sebagai amatiran fotografer tidak-bosan-bosannya dapat memotret si bunga yang indah ini. Suasana yang dinikmati orang Jepang saat musim semi tiba dan mekarnya bunga sakura ini dikenal dengan istilah Hanami atau Ohanami.
Bagi negara Jepang sakura merupakan simbol yang sejak dahulu kala ketika zaman Samurai, sering sering diidentikkan keindahan dan kecantikan sehingga kata sakura dijadikan sebagai nama untuk nama perempuan yang menggambarkan kecantikan dan keindahan. Oleh karena itu, selain banyak dipakai untuk nama anak perempuan juga kita dapat melihat  motif bunga sakura di berbagai-macam barang seperti pakaian (kimono), alat-alat tulis dan peralatan rumah tangga, bahkan makanan seperti Sakura Mochi yang menjadi khas penganan asal Oita dan Beppu. Bunga sakura tidak hanya sedap dipandang, tapi juga nikmat diminum dalam bentuk teh bunga sakura, yang lebih dikenal dengan sebutan sakuracha. Teh bunga Sakura umumnya diminum pada kesempatan-kesempatan istimewa seperti pesta pernikahan
Jenis sakura juga ada macam-macam, selama di Oita, Beppu dan Nagasaki kami bisa melihat paling tidak empat jenis bunga ini yaitu Shomei Yoshino, sakura yang paling umum dijumpai, Kanhizakura yang warnanya merah keunguan, Yamazakura yang banyak tumbuh di gunung-gunung, dan Shidarezakura yang tangkainya menjuntai ke bawah. Shomei Yoshino adalah bunga sakura warnanya putih bersih berona pink pucat terutama dekat tangkainya. Bunga sakura jenis shomei yoshino ini butuh waktu satu minggu dari mulai kuncup sampai gugur, namun dapat juga lebih cepat kalau keadaan cuaca tidak bagus misalnya hujan lebat dan angin kencang.
Kapan hanami yang tepat biasanya, masyarakat tahu lewat pemberitaan tivi atau media lainnya, karena hari mekar bunga sakura berbeda-beda di tiap-tiap daerah.  Kalau kita lihat di peta akan nampak bahwa letak negara Jepang itu  memanjang sehingga ada perbedaan sebesar 20° antara bagian utara dan bagian selatan. Inilah yang menyebabkan iklim Jepang juga berbeda, yakni makin ke utara waktu mekar bunga sakura makin lambat. Adapun makin ke selatan makin cepat waktunya. Bunga sakura pertama kali mekar di daerah selatan yaitu Okinawa, pada pertengahan bulan Januari. Di  daerah Kyushu bunga sakura mekar pada akhir bulan Maret, sedangkan di Tokyo bunga sakura mekar di awal bulan April. Dan yang terakhir adalah di Hokkaido, bunga sakura mekar pada bulan Mei.
Jadi kalau anda ingin melihat sakura dan ikut berhanami ria maka datanglah ke Jepang di bulan-bulan Akhir  atau Awal Februari (Okinawa),  Akhir Maret (Kyushu), April (Honshu), dan Mei (Hokkaido). Otanoshimi ni!
(Disusun sebagai Laporan Perjalanan ke Oita, Beppu, Nagasaki, Maret 2010 oleh Upik Kesumawati Hadi Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor)

Rabu, 10 November 2010

HANAMI

Posted by inuyasha On 20.41

Hanami (花見?, lit. "flower viewing") is the Japanese traditional custom of enjoying the beauty of flowers, "flower" in this case almost always meaning cherry blossoms or ume blossoms.[1] From the end of March to early May, sakura bloom all over Japan.[2] The blossom forecast (桜前線 sakurazensen?, literally cherry blossom front) is announced each year by the weather bureau, and is watched carefully by those planning hanami as the blossoms only last a week or two. In modern-day Japan, hanami mostly consists of having an outdoor party beneath the sakura during daytime or at night. Hanami at night is called yozakura (夜桜?, literally night sakura). In many places such as Ueno Park temporary paper lanterns are hung for the purpose of yozakura.
A more ancient form of hanami also exists in Japan, which is enjoying the plum blossoms (梅 ume) instead. This kind of hanami is popular among older people, because they are more calm than the sakura parties, which usually involve younger people and can sometimes be very crowded and noisy.

History

The practice of hanami is many centuries old. The custom is said to have started during the Nara Period (710–794) when it was ume blossoms that people admired in the beginning. But by the Heian Period (794–1185), sakura came to attract more attention and hanami was synonymous with sakura.[3] From then on, in tanka and haiku, "flowers" meant "sakura."
Hanami was first used as a term analogous to cherry blossom viewing in the Heian era novel Tale of Genji. Whilst a wisteria viewing party was also described, from this point on the terms "hanami" and "flower party" were only used to describe cherry blossom viewing.
Sakura originally was used to divine that year's harvest as well as announce the rice-planting season. People believed in kami inside the trees and made offerings. Afterwards, they partook of the offering with sake.
Emperor Saga of the Heian Period adopted this practice, and held flower-viewing parties with sake and feasts underneath the blossoming boughs of sakura trees in the Imperial Court in Kyoto. Poems would be written praising the delicate flowers, which were seen as a metaphor for life itself, luminous and beautiful yet fleeting and ephemeral. This was said to be the origin of hanami in Japan.
The custom was originally limited to the elite of the Imperial Court, but soon spread to samurai society and, by the Edo period, to the common people as well. Tokugawa Yoshimune planted areas of cherry blossom trees to encourage this. Under the sakura trees, people had lunch and drank sake in cheerful feasts.
Today, the Japanese people continue the tradition of hanami, gathering in great numbers wherever the flowering trees are found. Thousands of people fill the parks to hold feasts under the flowering trees, and sometimes these parties go on until late at night. In more than half of Japan, the cherry blossoming period coincides with the beginning of the scholastic and fiscal years, and so welcoming parties are often opened with hanami. The Japanese people continue the tradition of hanami by taking part in the processional walks through the parks. This is a form of retreat for contemplating and renewing their spirits.
The teasing proverb dumplings rather than flowers (花より団子 hana yori dango?) hints at the real priorities for most cherry blossom viewers, meaning that people are more interested in the food and drinks accompanying a hanami party than actually viewing the flowers themselves.[4][5] (A punning variation, Boys Over Flowers (花より男子 Hana Yori Dango?), is the title of a manga and anime series.)
Dead bodies are buried under the cherry trees! is a popular saying about hanami, after the opening sentence of the 1925 short story "Under the Cherry Trees" by Motojirō Kajii.
Ukiyo-e painting from Tale of Genji, ch. 20 - 花宴 Hana no En, "Under the Cherry Blossoms", by artist Kunisada (1852).
Emperor Saga (嵯峨天皇 Saga-tennō) (786-842) of the Heian Period adopted this custom, and celebrated parties to view the flowers with sake and feasts under the blossoming branches of sakura trees in the Imperial Court in Kyoto. This was said to be the origin of hanami in Japan.[6] Poems were written praising the delicate flowers, which were seen as a metaphor for life itself; beautiful, but lasting for a very short time. This "temporary" view of life is very popular in Japanese culture and is usually considered as an admirable form of existence; for example, in the samurai's principle of life ending when it's still beautiful and strong, instead of slowly getting old and weak. The Heian era poets used to write poems about how much easier things would be in Spring without the sakura blossoms, because their existence reminded us that life is very short:
Cquote1.png If there were no cherry blossoms in this world
How much more tranquil our hearts would be in Spring.
Cquote2.png
Hanami was used as a term that meant "cherry blossom viewing" for the first time in the Heian era novel Tale of Genji (chapter 8, 花宴 Hana no En, "Under the Cherry Blossoms").[8] From then on, in tanka (短歌) and in haiku (俳句) poetry, "flowers" meant "sakura", and the terms "hanami" and "flower party" were only used to mean sakura blossom viewing.[9] At the beginning, the custom was followed only by the Imperial Court, but the samurai nobility also began celebrating it during the Azuchi-Momoyama Period (1568–1600). In those years, Toyotomi Hideyoshi gave great hanami parties in Yoshino and Daigo, and the festivity became very popular through all the Japanese society.[10] Shortly after that, farmers began their own custom of climbing nearby mountains in the springtime and having lunch under the blooming cherry trees. This practice, called then as the "spring mountain trip", combined itself with that of the nobles' to form the urban culture of hanami.[11] By the Edo Period (1600–1867), all the common people took part in the celebrations, in part because Tokugawa Yoshimune planted areas of cherry blossom trees to encourage this. Under the sakura trees, people had lunch and drank sake in cheerful feasts.[12][13]